Parlemen Provinsi Xinjiang, China bagian barat telah mengeluarkan peraturan untuk melarang penggunaan burqa bagi perempuan di depan umum. 

Provinsi Xinjiang merupakan propinsi bagian barat RRC yang kaya sumber daya alam dan dihuni oleh warga kebangsaan Turki dan Muslim Uighur. Gelombang kedatangan etnis China Han, 

kelompok etnik dominan di negara itu yang ditengarai merupakan bagian dari Ras Yahudi dari Suku ke-13 yang hilang, selama beberapa dekade terakhir telah memicu ketegangan antaretnis. Namun pemerintah RRC malah menyalahkan kaum Muslimin di wilayah ini dan menindasnya dengan kejam.

Media setempat pemerintah melaporkan pada Agustus tahun lalu, kota lain di Xinjiang, Karamay, juga telah melarang orang memakai gaya pakaian Islam dan berjenggot besar untuk naik bus umum selama acara olahraga yang dilaksanakan di ibukota provinsi.

Pemkot Karamay menargetkan warga yang mengenakan kerudung, jenggot besar, serta tiga jenis gaun Islam, termasuk dengan simbol bintang dan bulan sabit.

 Puluhan stasiun bus di kota itu juga dijaga oleh petugas keamanan untuk melakukan pemeriksaan dan melaporkan pelanggar ke polisi.

Jika kasus Charlie Hebdo saja dunia Barat heboh, maka Barat selama ini hanya berdiam diri menonton bagaimana pemerintah China menindas HAM Muslim Uighur dengan melarang mereka untuk adzan, sholat, mengenakan simbol-simbol keislaman, dan sebagainya. Sebab itu, kaum Musliminin seharusnya tidak ikut-ikutan mengikuti gendang yang ditabuh Barat. Katakan dengan tegas: Je Suis Muslim! (rz)

“Terus terang, saya sangat takut mereka (pemerintah komunis) akan menerapkan model Xinjiang di sini,” kata seorang imam senior kepada Davis.

“Mereka ingin mengasingkan Muslim, memangkas Islam sampai akar-akarnya,” katanya gemetar dengan emosi yang nyaris tak terkendali. “Hari-hari ini, anak-anak tidak diizinkan untuk percaya pada agama: hanya kepada Komunisme dan partai.”

Sementara itu Ma Lan, seorang penjaga masjid berusia 45 tahun meneteskan air mata ketika saat mengungkapkan kekhawatirannya. “Kami takut, sangat takut. Jika terus seperti ini, setelah satu atau dua generasi, tradisi kami akan hilang,” ungkapnya.

Para pengawas memeriksa masjid setempat setiap beberapa hari selama liburan sekolah terakhir untuk memastikan tidak ada 70 persen atau lebih anak-anak desa hadir. Awalnya, imam mereka mencoba mengadakan pelajaran secara rahasia sebelum matahari terbit. Tetapi akhirnya takut akan ada tindakan keras.